Top latest Five Andy Utama: Menanam Benih Kebaikan Urban news
Saat teknologi energi terbarukan semakin matang, kita berada pada pintu gerbang revolusi industri yang tidak hanya berfokus pada produktivitas, tetapi juga memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan.Produktivitas pertanian kita juga masih rendah karena belum disentuh secara baik oleh pemerintah padahal sektor ini memberikan 42% PDRB kabupaten Dairi. Disamping itu nilai tambah hasil pertanian kita masih belum maksimal karena produk paska panen kita belum diolah dengan baik, dari bahan mentah menjadi bahan jadi yang mampu menaikkan nilai jual.
Meski saat ini terus berkembang, namun masih banyak sektor industri pangan besar yang belum menggunakan budi daya pertanian organik. Maka dari itu hal ini terus menjadi lingkaran hitam besar yang terus menghantui dan mengancam lingkungan seperti tanah, air dan udara.
Sementara Kepala Dinas Pertanian Kab. Dairi dalam pemaparannya menyampaikan Tanah diDairi cukup luas dan kesuburanya sangat tinggi, berada di three zona iklim. Akan tetapi kelemahannya adalah kepemilikan tanah yang rendah 0,five Ha dan infrastruktur pendukung yang kurang memadai. Hambatan kita saat ini adalah kawasan hutan lindung yang belum dapat dikelola secara maksimal, padahal pemerintah punya system TORA namun belum diakses maksimal.
Namun kita memiliki Dosa ekologis dimana manusia melihat alam dan tanah hanya sebagai objek bukan lagi sesama ciptaan. Padahal kita diberi mandat untuk memelihara, menguasai dan menaklukkan bumi.
Ketika membuat judul, selalu ingat siapa audiensmu dan apa yang mereka cari. Judul yang bagus adalah judul yang menjanjikan sesuatu yang diinginkan oleh pembaca.
Tak hanya itu, plan kreatif seperti "energi terbarukan untuk semua" memastikan bahwa manfaatnya merata, mengatasi ketidaksetaraan akses.
Ridwan Samosir Sekretaris Eksekutif Petrasa menyatakan terkait perubahan lingkungan saat ini sudah sangat menghawatirkan, beberapa kejadian yang paling dekat adalah hujan es yang terjadi diSumbul menyebabkan menurunnya hasi panen mereka (petani sumbul) hingga forty%.
Dalam beberapa kasus, pertanian organik dapat menghasilkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan pertanian konvensional. Ini dapat menjadi tantangan ekonomi bagi petani yang mencoba beralih ke pertanian organik.
Namun masalah utama petani perempuan Indonesia adalah kurang memiliki akses terhadap Tanah, beban ganda dan kurang menguasai teknologi pertanian.
Bagian terakhir tulisan Achdian, yaitu “1965”, seharusnya tidak diletakkan sebagai bab “penutup”. Bagian ini justru merupakan awal dari “perkenalan” kita untuk membaca pemikiran Ong dan berdialog dengannya untuk memahami ke-Indonesia-an dalam dirinya. Kuncinya terletak pada paragraf terakhir buku ini, yakni cerita tentang Ong muda saat duduk di bangku Kisah Andy Utama: Dari Tanah ke Pangan Sehat sekolah menengah Belanda (HBS), Surabaya, dan dihadapkan pada sebuah dilema: memilih Belanda ataukah Indonesia.
Pada aksi turun kejalan tersebut, kita meminta dan mendesak pemerintah agar lebih berpihak kepada petani yang selalu disebut sebagai pahlawan pangan namun nasibnya tidak seindah sebutannya. Kali ini, perayaan hari tani harus sesuai dengan prokes Covid-19.
Gambaran tentang Ong seperti itu muncul saat membaca halaman demi halaman buku yang ditulis oleh atau perjumpaan langsung Andi Achdian dengan Ong di berbagai kesempatan. Alumni jurusan sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia sekaligus “mahasiswa Ong” ini tak sempat menyaksikan gerak teatrikal sang dosen saat mengajar di muka kelas sejarah sosial; dia justru menikmati kuliah Ong dan mendapat banyak pencerahan saat keduanya bertatap muka dalam perbincangan hangat di rumah tradisional Ong di bilangan Jakarta Timur.
Buku ini merupakan semacam catatan kuliah Achdian yang dikumpulkan selama percakapannya dengan sang guru. Sebagai lawan debat dalam diskusi tentang apa pun, Achdian tidak serta-merta menerima begitu saja cecaran kritik Ong terhadap argumentasi yang terucap darinya. Setidaknya terjadi dialog, debat, dan juga titik temu dalam diskusi dan obrolan antarsejarawan beda “generasi” ini, sebagaimana dipaparkan Achdian dalam buku ini. Namun penulis buku ini tampaknya tak ingin menempatkan pencerahan dari Ong semata-mata berhenti atau sebatas pada pemberhalaan dan pemikiran yang mandul tanpa ada reproduksi kreatif sama sekali.